
- Back to Home »
- opini »
- Perbedaan adalah Alat untuk memperkuat Kesetaraan Gender.
Posted by : agathakaf89@gmail.com
Thursday, May 3, 2018
Perbedaan adalah Alat untuk
memperkuat Kesetaraan Gender.
Kafabihi
Himpunan Mahasiswa Islam, Cabang
Tanjungpinang-Bintan, Komisariat Eksakta Umrah
Universitas Maritim Raja Ali
Haji, Ilmu Kelautan
Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam as, dan
tentunya dalam sejarah penciptaan manusia, Adam sebagai perwakilan kaum lelaki
tentu memiliki sebuah kebanggaan atas otoritas yang ada, akan tetapi merujuk
dari Alquraan Adan dan Hawa dari diri manusia itu sendiri dan tidak
mengistimewakan salah satu diantara mereka. Sejarah penciptaan manusia ini juga
tidak lepas dari peristiwa diciptakannya Hawa dari tulang rusuk Adam, yang
sengaja Allah Swt ciptakan untuk menemani, dan memasangkan dengan Adam as.
Keberadaan Hawa yang diciptakan oleh Allah Swt, menjadi hal yang sangat
mendasar akan keberadaan umat manusia sekarang. Hawa adalah perempuan pertama
yang melahirkan umat manusia, dan mulai dari sinilah keberlangsungan sejarah
antar gender dimulai.
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, gender yang berarti
jenis kelamin. Dalam Webster’s New World
Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa “gender” adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an
Intro- duction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). H.T. Wilson
dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan
kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.1 Sementara itu menurut Mansour
Faqih dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial mengemukakan
konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Misalnya bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.2 Perbedaan sifat, sikap serta
fisik antar genderlah yang menjadi sebuah permasalahan yang sering timbul ke
atas permukaan lingkungan sosial. Padahal semua perbedaan yang bersifat
biologis (sex) yang merupakan kodrat Tuhan hanyalah bersifat objektif belaka
yang tidak memandang kesataraan berkehidupan bersama. Sedangkan kehidupan
perbedaan budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya, antar gender bisa
dipertukarkan dan bukan merupakan kodrat Tuhan.
Kesataraan gender selalu saja dititik beratkan pada pihak
perempuan, semua telah terjadi dari diciptakannya Hawa. Keberlangsungan sejarah
gender diantaranya kedudukan perempuan yang tidak begitu diperhatikan sebelum
Islam datang. Pada masa zaman jahiliah misalnya, banyak sekali kaum quraisy
yang takut memiliki anak perempuan sehingga mereka mengubur anaknya: Pertama, orang tua pada masa masyarakat
jahiliyah takut jatuh miskin bila menanggung biaya hidup anak perempuan yang
dalam konteks zaman itu, tidak bisa mandiri dan produktif. Kedua, masa depan anak-anak dikhawatirkan mengalami kemiskinan
(jatuh miskin). Anak perempuan dikubur karena orang tuanya khawatir anak-anak
perempuan diperkosa atau berzina. Ketiga,
sesuai dengan seringnya konflik antar kabilah atau peperangan antarsuku, orang
tua khawatir anaknya akan ditawan musuh dalam peperangan itu.3 Selain kebiasaan buruk itu, ada
juga kebiasaan buruk seperti mengawini perempuan sebanyak-banyaknya, dan juga
menceraikan sesuka hati. Dari beberapa peristiwa

1 Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Para-madina, 2001), hlm. 34.
2 Mansour Faqih, Analisis Gender
& Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 7.
3 Fatah Syukur, Sejarah Peradaban
Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011), hlm. 21.
sejarah yang telah berlangsung timbullah sebuah pemikiran,
bahwasanya perempuan dalam ber abad-abad silam sebelum adanya islam di berbagai
belahan dunia kaum perempuan dipandang tidak memiliki kemanusiaan yang utuh dan
oleh karenanya perempuan tidak berhak bersuara, tidak berhak berkarya, dan
tidak berhak memiliki harta. Bahkan, eksistensinya sebagai makhluk manusia pun
dipertanyakan. Padahal mereka adalah bagian dari diri manusia itu sendiri.
Berbeda halnya ketika Islam datang, Pada masa Rasulullah kaum perempuan
muslimah tampak dalam sosok perempuan yang dinamis, sopan, dan terpelihara
akhlaknya. Bahkan dalam al Qu’an, figur ideal seorang muslimah disimbolkan
sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiqlāl al-siyāsah.
Mereka (Perempuan) juga berprestasi sama yang seperti diraih oleh kaum
laki-laki bahkan kaum perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin seperti
Aisyah (Istri Rasululluah) saat memimpin perang. Dalam jaminan al-Qur’an,
perempuan dengan leluasa memasuki semua sector kehidupan masyarakat, termasuk
politik dan ekonomi.4
Peradaban gender setelah munculnya Islam mengalami perubahan
yang signifikan, tetapi ada juga kelompok-kelompok yang menilai keberadaan
Islam menyebabkan subordinasi yang mengarah ke arah pesimis. Banyak hal yang
bisa diambil hikmahnya dari sejarah peradaban tentang gender, walaupun penuh
dengan perbedaan akan tetapi manusia tetap terus belajar untuk bisa saling
memahami antar gender. Sekian banyak perbedaaan yang menjadi celah, tapi
manusia yang beriman serta akan berakal akan memahami hakikat toleransi antar
gender.
Di Indonesia pun kesataraan gender masih menjadi masalah di
lingkungan masyarakatnya. Seperti yang terjadi di Bali. Di Bali, lelaki
ditempatkan sebagai purusa, dan perempuan pradana, dan perempuan adalah
pradana. Purusa adalah kepala keluarga, sedangkan Purusa dianggap sebagai
pelengkap dalam keluarga. Ideologi ini menilai keberadaan kaum perempuan
tidaklah penting. Ideologi yang seperti inilah yang menghambat kekuatan antar
gender. Sebuah momok bagi kaum wanita yang ingin diakui keberadaan mereka.

4
Siti Musdah
Mulia, “Kekerasan terhadap Perempuan...”, hlm. 15.
Pada akhirnya, hakikat manusia yang terjadi adalah kurangnya
sikap saling menghormati antar gender. Tanpa disadari laki-laki kuat karena
adanya peran dari seorang wanita. Disinilah letak kekuatan yang terjadi, saling
mendukung antar kedua insan. Laki-laki yang menganggap dirinya hebat, lupa akan
kekuatan wanita yang mendukungnya dari belakang. Jadi, kesadaran inilah yang
menjadi hal yang sangat penting, dimana kurangnya sikap yang tidak dibarengi
dengan Iman dan ilmu akan mengakibatkan kecacatan moral dibalik amalan yang
dikerjakan. Maka, perlu kita perbaiki akhlak dengan iman serta ilmu agar bisa
mangamalkan ajaran Islam. Dengan adanya perbedaan antar gender ini, yakinlah
laki-laki dan perempuan akan saling menguatkan diri. (Kafabihi,2018)